Penerbit Buku

Untitled (600 × 250 px)

Imajinasi Diyawa dalam Isu Krisis Iklim

Resensi karya Zufara Maryami Mufidoh*

Diyawa si Kaki Merah” adalah novela kedua yang aku baca dengan genre climate fiction. Saat membaca judul dan sinopsis di belakang cover buku, membuat aku tertarik untuk mencari tahu apa maksud “Si Kaki Merah” dalam novela ini. Setelah membaca habis seluruh isi novel barulah terjawab. Rupanya, Si Kaki Merah adalah sekelompok manusia yang menjaga keutuhan Jantung Rimba di saat manusia lainnya memperebutkan kekayaan alam.

“Kalian babat hutan ini untuk jalan sama juga kalian potong leher kalian sendiri. Tidak ada hutan ini, sama juga kalian bunuh ikan-ikan di sungai. Kalian rusak air sungai dan meracuni diri kalian sendiri. Kalian biarkan bukit itu runtuh dan menimpa orang-orang… Dan bilang ke negara, jangan mengaku-aku kalau ini hutan mereka. Ini bukan punya siapa-siapa…”  Halaman 88. Bilang ke negara menunjukan hubungan yang jauh dari kata harmonis, antara sumber daya alam, manusia, dan perebutan hak milik.

Dalam buku ini ditulis bahwa hutan adalah satu kesatuan. Semuanya berhubungan dan saling membutuhkan, seperti air dengan pohon, pohon dengan hewan, maupun Jantung Rimba dengan kelompok Kaki Merah. Jantung Rimba digambarkan seperti surga yang ditemukan di tengah hutan, dirawat dengan asri tanpa campur tangan manusia tamak harta. Ditulis bahwa yang bisa masuk ke dalam Jantung Rimba adalah orang terpilih. Jantung Rimba adalah kehidupan, napas, rumah, makanan, bagi seluruh kelangsungan hidup Kaki Merah.

Dari sisi sosial, novela ini menceritakan dua latar belakang lingkungan yang berbeda. Kehidupan sang Lelaki di Alam Luar adalah kehidupan manusia pada umumnya. Yang tamak dengan harta, rakus dengan hasil bumi, tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki. Kehidupan manusia di Alam Luar bergantung dengan alam, tapi ini tidak termasuk ke dalam satu kesatuan oleh karena yang mereka lakukan adalah menebangi kayu gaharu secara liar dan tidak berkesudahan. Memiliki segunung kayu gaharu seperti halnya dengan menimbun emas, meski sebenarnya mereka telah mengurangi penghasil oksigen sehingga menyengsarakan diri mereka dan anak cucunya di masa depan.

Berbeda dengan sisi sosial, kehidupan di kelompok Kaki Merah yang justru sangat menjaga kekayaan alam. Lelaki  yang lahir di kelompok kaki merah diwajibkan mampu berburu hewan dalam jumlah yang cukup. Sementara para perempuan si Kaki Merah, diwajibkan untuk memiliki kemampuan meramu, mengenali tumbuhan apa saja yang sekiranya baik dan buruk untuk dikonsumsi. Sandingan kata berburu dan meramu tentu sering kita jumpai di pelajaran sejarah di bangku sekolah. Dua kegiatan tersebut melekat pada kegiatan manusia purba yang bertahan hidup dengan kecerdasannya memburu binatang dan mengumpulkan bahan makanan di alam liar. Benar, gambaran perilaku kelompok Si Kaki Merah serupa dengan manusia purba. Selain itu, mereka juga menggunakan bahasa yang tidak sama dengan manusia Alam Liar. Cara bertuturnya, tidak teratur dan sering kali memaknai sesuatu menggunakan bahasa bayi. Seperti pada kalimat “Senjata berbunyi dor yang dibawa kelompok Alam Luar” yang dikatakan Diyawa, maksudnya adalah sebuah tembakan berburu.

Aku tertarik dengan cara penulis menggambarkan kedudukan perempuan di dua lingkungan kehidupan yang berbeda. Di kelompok Kaki Merah mereka menganut paham matriaki, di mana perempuan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada laki-laki. Kelompok Kaki Merah dipimpin oleh seorang perempuan yang disebut dengan Perempuan Berkulit Ular. Ia yang mengatur dan mengambil keputusan, semua anggota kelompok Kaki Merah tunduk di hadapannya. Tidak hanya itu, di Kaki Merah karena perempuannya memiliki kedudukan tinggi, mereka diperbolehkan memilih siapa lelaki yang berhak membuahinya, dalam persoalan ini lelaki sama sekali tidak boleh ikut campur.

Berbanding terbalik dengan kedudukan perempuan di Alam Luar, sebagian besar kepala keluarga di sana bekerja sebagai pencari kayu gaharu. Harganya yang sangat mahal dan cara memperolehnya yang mudah, membuat masyarakat di sekitarnya mempunyai harapan hidup makmur. Tapi, di Alam Luar para lelakinya menganut paham patriaki. Di mana para suami memegang kekuasaan di dalam rumah tangganya dan mendominasi setiap keputusan yang dibuat. Laki-laki di Alam Luar, menghabiskan sebagian besar uangnya untuk mengonsumsi arak dan membeli perempuan-perempuan selain istrinya sendiri. Hal tersebut berdampak ke ekonomi keluarga yang dikelola oleh perempuan. Kegiatan bermain perempuan yang dilakukan oleh suami, tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Bahkan sebagian besar yang sudah berkeluarga. Apakah para perempuan (istri) melarang hal tersebut? Tidak. Mereka sebagai korban yang terpengaruh budaya patriaki, sehingga memilih untuk diam daripada melawan. Para istri satu sama lain saling menutupi masalah rumah tangganya masing-masing, meskipun masalah yang dihadapi sama.

Tentang kelompok Kaki Merah, awalnya aku pikir mereka hanya tercipta dari imajinasi penulis dan menjadi bumbu cerita. Rupanya di jantung hutan Kalimantan terdapat kelompok Suku Dayak yang mengasingkan diri sejak puluhan tahun lalu, tepatnya di sekitar pegunungan Muller-Schwaner. Ciri fisiknya pun sama yaitu betis kaki kelompok tersebut berwarna merah. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Suku Dayak Ot Siau dan Ot Bukot. Tetapi keberadaannya belum dapat dibuktikan secara pasti karena informasi tersebut tersebar dari mulut ke mulut. Bedanya, berdasarkan informasi yang aku dapatkan dari Kalteng News, Suku Dayak tersebut berkaki merah karena menggunakan pewarna alami hasil meramu sedangkan hasil ramuan cerita penulis kaki merah itu didapatkan seiring sang anak keturunan Kaki Merah tumbuh dewasa. Perilaku Suku Dayak yang diceritakan pun persis seperti kelompok Diyawa si Kaki Merah. Mereka tidak suka diganggu oleh manusia luar dan kehidupannya hanya bertahan hidup dan menjaga hutan. Informasi terkait paham matriarki, tidak ada ulasannya pada informasi yang aku baca. Tentu ini jadi pengetahuan baru, mengenal keberagaman suku dan budaya di Indonesia. Penulis berhasil menyeludupkan informasi terpenting, dalam kemasan cerita romansa antara Diyawa dan Lelaki. Apalagi, ular besar  yang menimpa nasib keduanya dan mengasingkan Diyawa dari kelompoknya, membuat novela ini sangat seru dan unik.

Beberapa isu lingkungan yang turut menjadi bumbu dalam cerita ini antara lain,  penebangan liar, penambangan emas, pemburuan hewan liar, pengalihan lahan hutan menjadi sebuah jalan. Penulis berhasil mengaduk isu lingkungan dalam cerita fiksi, sehingga pembaca seperti aku tidak merasa digurui. Tetapi tetap bisa menikmati tulisan, menangkap maksud penulis, dan memperoleh informasi terkait lingkungan. Penulis juga tidak menuliskan latar tempat secara detail pada novela inis, sehingga membuat pembaca bebas merangkai imajinasinya.

Dugaanku, Diyawa adalah aku atau juga kamu yang turut serta menyirami tumbuhan agar subur dan berumur panjang. Hingga anak cucu bisa merasakan indah bunga dan manis buahnya. Tapi di luar sana, ada sekelompok orang membawa petaka ular besar yang meruntuhkan itu semua. Berupa pengalihan lahan  hak tumbuh bagi tumbuhan menjadi gedung-gedung, perumahan, atau aspal hitam yang melintang. Bumi yang dinikmati saat ini adalah sisa-sisa dari keindahan ratusan tahun lalu. Bayangkan, jika terus tergerus dan diretas siapa yang akan menjual oksigen untuk semua orang? Siapa pula yang akan menyewakan tanah gembur untuk akar-akar menggeliat? Buku ini menjadi pengingat bahwasanya melestarikan sumber daya alam saja tidak cukup, kita harus turut serta menjaga hak hidup makhluk hidup lainnya yaitu tumbuhan dan hewan-hewan.

===============
Zufara Maryami Mufidoh. Lahir di Brebes tahun 2002. Zufara menulis buku puisi pertamanya berjudul “Selamat Mati-matian Hidup” (2025). Zufara juga menulis cerpen, salah satu cepennya berjudul “Suratan Takdir Bu Surwi “yang dapat dibaca di Kompasiana. Saat ini berwirausaha dan aktif dalam kegiatan literasi salah satunya, Kultur Jaringan.

.

Ayo pesan sekarang!