Seri Esai Aku+Buku edisi kedua ini ditulis oleh Rezky Syachrizal
(Mahasiswi Sastra Inggris Universitas Jenderal Soedirman, pemagang Bening Rua Pustaka periode 25A)

BUKU adalah salah satu hal yang mengeratkan saya dengan ibu saya. Saya masih ingat saat saya masih menjadi murid sekolah dasar, biasanya sebulan sekali saya dan ibu saya pergi ke Tamara Plaza, yang sekarang sudah berganti menjadi tempat berbelanja perabotan rumah, untuk mengunjungi toko buku yang paling terkenal di kota saya. Di sana saya bisa menghabiskan waktu dari siang pulang sekolah sampai sore hari hanya untuk duduk di lantai yang dingin itu sembari membaca buku yang tidak ada plastiknya atau menimbang-nimbang mana buku yang akan saya beli sembari bertanya ke ibu saya, “Mending yang ini apa yang ini ya, Mah?”Jika saya ikut ibu saya berbelanja bulanan di MORO, pasti saya menyempatkan untuk ke toko buku kecil yang terletak di pojok atm center. Ibu saya akan mengomel sedikit sebelum mengucapkan kalimat yang mengingatkan saya dengan masa kecil saya, “Yaudah tapi beli yang lama aja,” lalu saya ambilah satu hingga dua komik Naruto atau Spongebob bekas atau satu majalah Bobo keluaran lama karena harganya lebih murah daripada keluaran yang baru. Saya samar-samar ingat waktu kecil sembari menunggu ayah saya pulang kantor, biasanya saya membaca majalah Bobo bersama ibu saya. Biasanya kami mengisi kolom Sayembara Bobo bersama, Ibu saya yang menulis alamat rumah dan sebagainya, dan saya yang menyebutkannya. Seingat saya juga pernah mengisi formulir yang untuk berlangganan setahun, tapi saya tidak pernah menerima pos berupa majalah Bobo, mungkin formulirnya dibuang oleh ibu saya.
Saat saya duduk di bangku kelas 3 SMP hingga lulus SMA, perlahan-lahan saya merasa kehilangan minat baca yang dulu begitu kuat. Mungkin karena sekolah, mungkin karena menemukan hobi baru, atau mungkin, seperti yang biasa yang ibu saya bilang, karena gawai, intinya membaca buku tak lagi terasa menyenangkan seperti dulu. Setiap kali saya mencoba membaca, muncul perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Di kepala saya, saya bertanya-tanya, “Gimana kalau yang aku bayangkan enggak sesuai sama apa yang sebenarnya ditulis atau dimaksud oleh penulis?” seolah-olah saya takut keliru menafsirkan cerita. Ketakutan itu membuat saya tidak bisa menikmati membaca buku seperti saat saya masih kecil. “Namun, kalau dipikir-pikir lagi, bukannya memang itu tujuan dari buku? Membuat kita berimajinasi semau kita?” Itu adalah pertanyaan lanjutan yang muncul di kepala saya saat saya sudah kuliah, memang agak lama untuk menumbuhkan minat baca saya lagi. Sejak mulai menyadari hal itu, saya mempunyai pemikiran bahwa membaca buku bukan hanya mengikuti alur yang sudah disiapkan penulis, melainkan juga tentang bagaimana kita, sebagai pembaca, ikut menciptakan dunia di dalamnya. Berimajinasi itu tidak salah, yang salah adalah membatasi imajinasi kita. Imajinasi itu yang membuat membaca jadi pengalaman unik dan penuh makna, dan dari situ saya tergerak untuk menumbuhkan kembali minat baca saya. Usaha saya memang belum maksimal, sejak masuk kuliah, saya membaca enam buku fiksi dan non fiksi. Saya juga belum menemukan tema andalan saya, tetapi saya sudah membaca dua buku bertemakan distopia, mungkin itu akan menjadi tema favorit saya.
Buku-buku saya yang tersusun rapi dari kanan ke kiri, dari komik Naruto, Smurf, Tanguy and Laverdure, ke buku seri Why?, lalu beralih lagi menjadi Funiculi Funicula, Mortal Engines, serta Brianna dan Bottomwise, hingga diujung kanan, Fahrenheit 451 dan Homage to Catalonia, dari “Ini sangat smurfy!” ke “Bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.”, Dari yang awalnya membaca untuk mengisi waktu, kini saya membaca untuk memperkaya sudut pandang. Buku membantu saya memahami bahwa bertumbuh berarti juga membuka diri pada pemikiran-pemikiran baru, dari bacaan ringan ke bacaan ringan, perjalanan saya dengan buku merupakan representasi berkembangnya pandangan hidup saya.