Penerbit Buku

Untitled (600 × 250 px)

Menyelami Cinta, Teror, dan Pengabdian dalam Dunia Tanizaki

Resensi karya Agustinus Donny*

Junichiro Tanizaki merupakan seorang penulis terkenal dari Jepang. Dia aktif menulis dari zaman Meiji hingga akhir Perang Dunia II. Dari berbagai karya yang telah ditulis, kali ini saya membaca kumpulan cerita karyanya yang telah digabung menjadi satu buku. Buku tersebut berjudul Aguri.

Buku ini mengandung tiga judul cerita: AguriTeror, dan Potret Shuskin. Dua judul pertama adalah cerita pendek, sedangkan judul yang ketiga merupakan sebuah novela. Cerpen pertama terdiri dari 28 halaman, cerpen kedua 14 halaman, dan novela ketiga terdiri dari 112 halaman.

Cerpen yang pertama disajikan dalam buku ini berjudul Aguri. Cerpen ini berkisah tentang sebuah pasangan yang bernama Okada dan Aguri. Okada adalah seorang lelaki yang, dulunya, diceritakan sangat menawan. Fisiknya dikatakan sangat feminin. “Melihat tubuhku kalian pasti memikirkan wanita, kan!” katanya (halaman 3-4). Sadar akan fisiknya, Okada begitu membanggakan hal itu ketika ia berada di cermin kamar mandi. Namun, kini fisiknya telah berubah drastis di usianya yang masih 30-an tahun akibat menderita suatu penyakit serius. Sedangkan Aguri, adalah seorang perempuan yang begitu peduli terhadap kecantikan dan penampilannya. Ketika dia masih berumur 14 tahun, jari-jarinya kuning dan kerut merut tipis, namun sekarang saat menginjak usia 17 tahun, fisiknya begitu meningkat; kulitnya putih, halus, dan saat suhu dingin kulitnya licin bagai minyak. Hal itu membuat Okada menjadi terobsesi akan Aguri. Dengan vulgar dituliskan (halaman 8), “…Okada membayangkan pundaknya yang telanjang… payudaranya… perutnya… pantatnya… satu per satu bagian tubuh Aguri melayang di depan mata…”. Obsesi Okada terhadap Aguri membuatnya ingin memenuhi keinginan Aguri dengan membeli pakaian yang cocok dan pantas untuknya.

Cerpen kedua yang disajikan adalah berjudul Teror. Cerpen ini menceritakan tokoh Aku yang memiliki sebuah ketakutan, atau fobia. Ketakutan tersebut menjadi teror yang mencekam baginya. Teror tersebut menghantui pikirannya hingga membuat dirinya sekarat, “Tolong! Aku sekarat!” (halaman 32). Suatu hari, dia dihadapkan pada situasi yang sulit yang mengharuskan dia berperang dengan rasa takut dan teror yang dia miliki. Jika dia gagal memerangi rasa itu, maka masa depannya akan berpengaruh.

Untuk penutup, kita disajikan sebuah novela yang dengan judul Potret Shunkin. Novela ini menceritakan seorang tokoh Aku yang berkunjung ke makam seorang musisi terkenal Jepang pada zaman Edo, Shunkin. Ketika mengunjungi makam musisi yang buta itu, tokoh Aku melakukan kilas balik mengenai kisah hidup Shunkin berdasarkan buku yang berjudul Kehidupan Mozuya Shunkin. Shunkin Mozuya merupakan, pada awalnya, seorang penari yang kemudian menjadi musisi samisen karena dia mengalami kebutaan di usia delapan tahun. Ketika dia mengalami kebutaan, Sasuke hadir sebagai pembantunya. Saat itu, Sasuke berumur 12 tahun. Sasuke rela menjadi pembantu untuk Shunkin, mengingat hubungan keluarganya dan keluarga Shunkin yang begitu erat, “Baik ayah maupun kakeknya memperolah kepandaian sebagai penjual obat dengan bekerja di kediaman Mozuya.” (halaman 60). Pekerjaan Sasuke mencakup memandikan, menuntun, merawat kebersihannya, melindunginya, dan masih banyak lagi. Ini membuat Sasuke tak hanya sebagai pembantu, tapi juga asisten pribadi Shunkin. Ditambah lagi, Sasuke juga di lain hari menjadi murid Shunkin ketika belajar samisen, bahkan meraih gelar maestro dan menggantikan Shunkin sebagai pengajar samisen.

Tiga cerita yang disajikan memiliki ciri atau kekhasan tersendiri. Cerpen Aguri mengangkat tema tentang obsesi dan ketimpangan hubungan asmara. Aguri dan Okada sama-sama terobsesi dengan kecantikan, sehingga Okada bersedia memenuhi keinginan Aguri yang selalu mengagungkan penampilan fisiknya. Aguri pun senang karena keinginannya bisa terpenuhi ketika bersama Okada. Namun, hal ini juga menimbulkan ketimpangan dalam hubungan mereka, mengingat Okada selalu memenuhi dan mempedulikan Aguri. Namun, Aguri tidak begitu peduli dengan Okada. Cerpen Teror, mengangkat tema paranoia. Ketika membaca cerpen ini, kita bisa merasakan sebagai tokoh Aku yang sedang mengalami konflik batin ketika menghadapi rasa takut atau fobianya. Selama membaca cerita ini, saya pribadi agak kesal dengan tokoh Aku yang selalu berada dalam dilema ketika berperang dengan rasa takutnya. Namun, saya juga sadar kalau saya menjadi tokoh Aku, bisa saja saya juga akan berada di posisi yang sama sepertinya; berada dalam dilema. Kemudian novela Potret Shunkin mengangkat tema pengabdian, keindahan, dan penderitaan. Apa yang dilakukan Sasuke dalam sisa hidupnya merupakan suatu hal yang patut untuk diapresiasi; menghabiskan sisa waktu hidupnya untuk mengurus seorang musisi wanita yang dibesarkan dalam keluarga yang kaya dan tergolong menjadi pribadi yang manja, bukanlah hal yang mudah. Membutuhkan kesabaran yang begitu besar ketika melakukan hal tersebut, terlebih lagi Sasuke melakukannya dari umur 12 tahun. Merupakan sebuah keindahan, juga penderitaan yang tercermin dalam kisah ini. Indah ketika kita membayangkan dan mendengar hal ini, tetapi menjadi penderitaan bagi kita ketika berada di posisi Sasuke.

Dari cerita yang telah disajikan, masing-masing memiliki amanat yang dapat diambil. Aguri mengingatkan kita bahwa hubungan yang tidak seimbang bukanlah sesuatu yang baik. Okada selalu menuruti dan memenuhi keinginan Aguri demi menjaga paras kecantikannya, tetapi kondisi Okada yang memburuk kian berjalannya waktu tidak dipedulikan oleh Aguri. Selain itu, kecantikan hanyalah bersifat sementara, ketika kita tua nanti fisik kita pasti akan mengalami penurunan dibanding ketika kita muda.

Teror juga mengingatkan kita bahwa musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Hal ini terlihat bagaimana tokoh Aku yang begitu cemas dan takutnya terhadap fobianya, hingga dia dihantui oleh teror yang ia ciptakan sendiri. Tokoh Aku memerangi diri sendiri di sepanjang cerita. Segala rasa takut, cemas, dan teror yang ada dalam pikiran kita hanya terjadi dalam kepala kita saja, belum tentu hal tersebut bisa menjadi ancaman yang nyata. Maka, kita harus memproses dan merespon sesuatu dengan tenang dan kepala dingin, jangan sampai memikirkan hal yang berlebihan, atau overthinking.

Novela Potret Shunkin menunjukkan bagaimana obsesi dan perasaan cinta yang mendalam bisa menghancurkan diri sendiri. Sasuke–yang merangkap sebagai asisten pribadi, murid, hingga guru pengganti Shunkin–memiliki rasa cinta dan kepedulian yang begitu mendalam terhadap Shunkin. Hal ini membuat dirinya merendah serendah-rendahnya tiap kali dia memposisikan dirinya dengan Shunkin, padahal dia tidak perlu sebegitunya. Ini dapat dilihat ketika Sasuke melakukan sebuah keputusan yang irasional dan terpengaruh oleh perasaan cinta yang mendalam, yang mana memengaruhi sisa kehidupannya. Sasuke merupakan manifestasi dari pepatah ‘cinta membuat orang buta’, mengingat dia tidak menyesali keputusannya tersebut.Buku Aguri ini cocok dibaca oleh kita yang senang terhadap budaya Jepang, pembaca santai yang lebih prefer cerita dengan alur santai (bukan cepat) dan tidak penuh aksi, sastra klasik terutamanya sastra Jepang, dan pembaca yang tertarik terhadap bacaan sensual, meski dalam cerita yang disajikan unsur sensual yang ada masih tergolong halus.

===============
Agustinus Donny, seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Jenderal Soedirman yang sedang doyan membaca buku.

.

Ayo pesan sekarang!