Seri Esai Aku+Buku edisi keempat ini ditulis oleh Zoya Novita
(Mahasiswi Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati, pemagang Bening Rua Pustaka periode 25B)

SAYA SUDAH dikenalkan dengan berbagai macam buku sedari saya kecil. Mulai dari buku cerita singkat, majalah milik mama, buku sekolah yang seharusnya tidak saya baca sebelum waktunya, dan buku resep masakan. Saya masih ingat sekali walaupun itu sudah bertahun-tahun lamanya. Dengan kondisi keuangan di tahun 2000-an awal yang masih belum terlalu stabil, orangtua saya mempertimbangkan untuk membelikan saya sejumlah buku bacaan yang jauh lebih murah daripada satu set mainan yang mudah rusak atau hilang di tangan anak kecil yang masih ceroboh. Umur saya masih 4 tahun saat itu, atau sekiranya begitu ketika saya tanyai mama tentang masa kecil anak perempuannya ini. Dan ternyata, mama juga masih ingat.
Masa kecil saya dihabiskan dengan hidup di daerah gunung yang masih asri pepohonannya, sekolah terdekat pun hanya ada di kaki gunung yang berjarak puluhan kilometer dan harus menempuh turunan yang lumayan curam, karena itulah saya tidak mendapatkan pendidikan awal seperti TK (Taman Kanak-kanak). Walau begitu, saya sudah bisa membaca bahkan sebelum saya masuk SD (Sekolah Dasar), berkat seorang anak tetangga yang mengajari saya cara membaca dan menulis serta mama yang selalu membelikan saya buku sebagai hadiah setiap melihat proses saya dalam membaca. Mereka berdua adalah alasan kenapa saya bisa begitu mencintai buku hingga saat ini. Pada saat itu, buku yang saya punya adalah buku cerita untuk anak-anak, majalah fashion jadul milik mama, dan buku resep makanan. Saya masih ingat salah satu buku yang gemar saya baca pada saat itu, judulnya ‘Putri Salju’ dan ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Bisa dibilang, buku ini juga salah satu alasan kenapa saya menggemari dan mengerti bahasa Inggris sekarang.
Ketika ekonomi keluarga kami mulai membaik, kami berpindah ke pemukiman yang jauh lebih bagus dan lebih mudah untuk mendapatkan akses pendidikan. Dengan kondisi seperti ini juga, jadi lebih mudah bagi saya untuk mendapatkan buku. Saya hanya perlu bilang pada mama kalau saya ingin buku baru dan mama akan menuruti, hingga rak-rak yang ada di ruang tamu rumah kami penuh dengan buku yang saya baca berkali-kali tanpa bosan. Saya juga berlangganan majalah ‘Bobo’ dan selalu membeli edisi terbaru di sebuah toko buku kecil yang terletak di pasar besar kota saya tinggal. Satu dekade sudah berlalu dan ketika saya kembali ke pasar tersebut, toko buku yang dulu sering saya kunjungi itu sudah tidak ada lagi. Saya hanya berharap bapak separuh baya yang mengelola toko tersebut selalu sehat sekarang. Bagaimana dengan majalah ‘Bobo’ yang saya punya? Masih ada di rak paling bawah meja belajar saya, sesekali merasakan cahaya matahari, seringkali di kegelapan tertutupi debu. Sayangnya, saya merasa bahwa saya sudah terlalu ‘dewasa’ untuk membacanya lagi.
Masih tentang masa kecil, layaknya anak-anak pada umumnya, saya juga sangat senang dengan hewan dan terpesona dengan keunikan mereka. Selain majalah Bobo, saya juga punya koleksi ensiklopedia tentang berbagai macam hewan yang menjadi harta karun berharga saya. Beberapa dari ensiklopedia tersebut masih setia bersama saya, dan dengan rasa cinta saya terhadap hewan yang tidak pernah hilang hingga sekarang, buku-buku tersebut tidak pernah mengoleksi debu.
Ensiklopedia adalah jenis buku yang paling saya sukai sedari kecil. Bukan hanya tentang hewan, tetapi juga tentang tumbuhan, negara, makanan, dan lain sebagainya. Salah satu teman yang rumahnya dekat dengan saya memiliki koleksi ensiklopedia yang lumayan banyak dan saya senang sekali membaca semua bukunya setiap kali saya pergi ke rumahnya. Karena hal ini pula, saya disebut ‘kutu buku’ oleh teman-teman saya sejak kecil. Bukan hanya karena senang membaca buku, tetapi juga karena saya kerap membawa buku bacaan kemana-mana ketika bermain. Tapi terkadang, saya bisa terlalu fokus ketika membaca buku dan tanpa sadar mengabaikan teman-teman yang tengah bermain dengan saya. Mereka sampai harus mengambil buku yang saya baca agar saya bermain dengan mereka. Kalau diingat-ingat lagi, saya akui jujur itu salah saya dan saya seharusnya tidak mengabaikan mereka seperti itu.
Begitu besar cinta saya kepada buku sampai-sampai ketika saya memenangi kontes lomba gambar, saya memilih satu paket majalah Bobo daripada satu set boneka Barbie sebagai hadiah dari mama.
Cinta saya kepada buku tidak pernah berkurang bahkan saat saya akhirnya memasuki sekolah dasar, dan justru semakin menjadi-jadi dengan adanya buku-buku sekolah (Seperti LKS) yang diberikan kepada tiap siswa. Yang seharusnya hanya dibaca satu bab, saya baca hingga habis dalam satu-dua hari. Saya jadi tahu apa yang akan dipelajari selanjutnya dan sudah mempersiapkan jawaban milik saya. Pada akhirnya, saya dijuluki “kutu buku” baik di lingkungan rumah maupun di sekolah karena baik teman-teman sekelas maupun para guru tahu akan kegemaran saya dalam membaca buku. Buku yang saya baca semasa SD adalah buku materi sekolah, kumpulan cerita rakyat, dan bahkan kamus berbahasa Inggris. Ketika sekolah dasar kami memiliki perpustakaan untuk pertama kalinya, teman-teman saya tahu bahwa saya lah yang paling senang akan hal itu. Sayangnya, perpustakaan tersebut hanya buka untuk siswa selama seminggu dan kemudian hanya bisa diakses oleh para guru sampai saya lulus sekolah dasar.
Perpustakaan jelas adalah tempat favorit saya. Saya sering meminta orangtua saya untuk berhenti di perpustakaan atau toko buku pinggir jalan setiap kali kami keluar, yang kadang dituruti dan kadang juga ditolak. Saya juga pasti akan menghabiskan waktu istirahat saya di perpustakaan sekolah dasar kalau saja akses untuk siswa tidak ditutup. Dulu, masjid di pemukiman saya tinggal memiliki perpustakaan kecil dengan koleksi buku yang selalu saya baca setelah shalat maghrib sambil mengaji dan menunggu shalat isya. Sayangnya, perpustakaan tersebut tidak bertahan lama karena banyak anak-anak yang merusak dan membawa buku-buku ke rumah mereka tanpa dikembalikan lagi, yang membuat pihak masjid berhenti membuka perpustakaan kecil tersebut agar buku-buku yang tersisa tetap aman. Sekarang, rak besar yang dulunya penuh buku-buku bacaan tersebut telah kosong.
Setelah lulus SD dan mengenyam pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs), saya masih gemar membaca buku dan lagi-lagi dipanggil “si kutu buku” juga. Sayangnya, MTs saya baru mempunyai perpustakaan pada ketika saya sudah kelas 3, yang berarti saya hanya punya waktu 3 bulan untuk menikmati buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut sebelum lulus. Tetapi, saya memanfaatkan waktu yang sedikit ini dengan sebaik-baiknya. Setiap hari saya datang untuk meminjam buku di perpustakaan tersebut . Selain itu, saya juga kerap meminjam buku dari teman. Kebanyakan buku-buku yang saya baca selama MTs adalah novel dan buku yang membahas tentang keagamaan. Saya senang membaca kedua-duanya.
Memasuki SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), sayangnya saya mulai jarang membaca buku karena sibuk dengan tugas dan praktik pada saat itu. Saya masih senang membaca buku, namun jumlah dan waktu yang dihabiskan sudah tidak sebanyak dulu. Di masa ini, buku-buku yang sering saya baca adalah buku materi dari sekolah yang lebih dari cukup untuk memuaskan saya.
Akhirnya, sekarang saya memasuki bangku perkuliahan. Memilih jurusan Sastra Inggris bukanlah tanpa alasan. Saya ingin produktif membaca buku lagi setelah SMK. Dan bukan hanya membaca, tapi juga mendiskusikan apa yang sudah saya baca. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, karena saya tidak punya seorangpun yang bisa mendiskusikan perihal buku dengan saya. Namun sekarang, saya bisa melakukannya. Di jurusan Sastra Inggris ini, saya telah membaca begitu banyak karya sastra semenjak semester 1, baik fiksi maupun nonfiksi, baik secara fisik maupun digital. Bukan hanya buku yang ditugaskan untuk dibaca, tapi juga buku yang saya baca atas kemauan saya sendiri terutama dengan adanya perpustakaan di kampus yang tentunya membuat saya girang bukan main. Di semester-semester awal, saya senang sekali mengunjungi perpustakaan utama kampus hampir setiap hari. Sekarang, saya lebih sering ke perpustakaan milik fakultas karena jaraknya lebih dekat, dengan koleksi karya sastra yang lebih banyak pula. Sudah tidak seperti dulu, saya lebih menggemari fiksi daripada nonfiksi sekarang, dengan bacaan saya yang kebanyakan adalah sastra klasik, karya terjemahan modern, dan karya lokal dibandingkan ensiklopedia, buku materi atau jurnal-jurnal. Dua buku yang saya dapatkan dari magang yang tengah saya jalani saat ini juga adalah karya fiksi yang sangat saya sukai, dengan satu adalah novel lokal karya anak bangsa dan satunya lagi adalah karya terjemahan klasik modern, membuat kegiatan magang ini sesuai dengan passion saya terhadap buku.
Walau beberapa kali mengalami perubahan selera dalam buku yang dibaca, saya rasa saya akan selalu menggemari buku dan tidak akan pernah berhenti membaca. Tentu saja saya juga beberapa kali merasakan reading slump yang membuat saya malas membaca buku selama beberapa waktu, tapi untungnya itu hanya selalu berlangsung sementara. Dan berbeda dari dulu dimana saya hanya membaca buku seorang diri tanpa punya siapapun yang bisa saya ajak diskusi mengenai buku tersebut, sekarang saya bisa menemukan orang-orang yang sama seperti saya, menganalisis buku yang telah dibaca, merekomendasikan buku kepada satu sama lain, dan bahkan saya bergabung ke komunitas buku yang membuat saya bertemu lebih banyak orang dengan kegemaran yang sama seperti saya. Saya merasa beruntung karena sudah dikenalkan dengan buku sedari kecil. Menurut saya, membaca buku adalah sesuatu yang penting bagi setiap orang, tak peduli walau hanya satu atau dua buku. Saya harap, negara ini bisa memiliki akses buku yang lebih luas dan terjangkau sehingga setiap orang bisa membaca dan mendapatkan ilmu yang pantas mereka dapatkan.