Seri Esai Aku+Buku edisi pertama ini ditulis oleh Adista Awalisti Balqis
(Mahasiswi Sastra Inggris Universitas Jenderal Soedirman, pemagang Bening Rua Pustaka periode 25A)

SAYA bukan anak yang sejak kecil menyukai membaca. Buku, bagi saya, hanyalah benda yang wajib dibeli menjelang tahun ajaran baru. Setiap kali ke Gramedia, yang saya cari hanyalah buku tulis, alat gambar, dan tentu saja buku pelajaran. Rak novel atau komik hampir tidak pernah saya lirik. Bagi saya saat itu, buku adalah urusan sekolah, bukan hiburan.
Suatu sore hujan rintik membuat Bunda mengajak saya ke Gramedia bukan untuk membeli buku paket seperti biasanya, melainkan hanya untuk jalan-jalan. Langkah kami menapak lantai marmer yang dingin, menyusuri lorong demi lorong rak buku yang tinggi dan warna-warni. Saya berjalan di belakang Bunda dengan malas, menatap langit-langit toko daripada deretan judul yang melelahkan.
Tiba-tiba, saya terpaku pada sebuah rak kecil berisi buku anak-anak bergambar cerah. Cahaya lampu aksen di sana membuat sampul-sampul warna-warni itu seolah menari, menarik mata saya. Salah satu buku bersampul merah dengan ilustrasi anak perempuan memegang balon terlihat lucu. Tanpa sadar, saya meraih dan membuka halamannya. Kata-kata pertama mengalir ringan, humoris, dan membuat saya tersenyum.
Bunda memperhatikan saya sambil tersenyum lembut. “Kalau kamu suka, ambil saja. Sekali-sekali nggak apa-apa,” katanya. Bagi saya, itu adalah undangan mengejutkan. Akhirnya buku kecil itu saya bawa pulang, dan di malam berikutnya saya terjaga hingga larut, membolak-balik halaman demi halaman hingga cerita selesai.
Beberapa tahun kemudian, saat usia memasuki usia remaja,, saya menemukan forum baru: Wattpad. Awalnya saya membaca cerita-cerita fiksi remaja yang diunggah gratis di sana. Kisah cinta remaja, persahabatan penuh drama, bahkan cerita misteri sederhana. Saya lupa berapa banyak malam saya habiskan membaca di layar ponsel sampai baterai hampir habis atau lampu kamar dipadamkan sendiri.
Ketika beberapa cerita populer itu akhirnya diterbitkan menjadi buku—seperti Dear Nathan, Bad Boy vs Crazy Girl, dan Mariposa—saya membelinya satu per satu saat Gramedia kedatangan edisi cetaknya. Ada kebahagiaan tersendiri melihat wujud fisik bacaan yang dulu hanya digital. Lembar demi lembar terasa semakin berharga karena saya tahu proses panjang di baliknya: komentar pembaca, revisi penulis amatir, hingga akhirnya layar ponsel berubah menjadi rak riuh.
Di tengah kesibukan ujian sekolah, tugas menumpuk, dan konflik ringan khas remaja, saya sering merasa jenuh. Saat itu, buku menjadi teman saya di kala jenuh. Saya ingat sekali duduk di bangku taman sekolah, menghadap lapangan, membuka satu bab Mariposa, lalu tertawa geli sendiri saat tokoh utama berbuat konyol. Teman sebangku menoleh, bertanya, “Kamu baca apa?” Saya hanya mengangkat alis dan menunjukkan sampul buku tanpa kata, mereka mengerti dunia saya sedang ‘menganggur’ di dalam halaman-halaman itu.
Buku tidak menuntut saya berpenampilan atau berperilaku tertentu. Ia hanya menerima. Di tengah kebingungan remaja, perasaan kurang percaya diri, tekanan teman, atau rasa rindu yang tiba-tiba muncul, saya cukup membuka buku, dan perasaan itu teralihkan, atau bahkan terobati.
Titik balik selanjutnya datang ketika saya membaca The Hunger Games. Cerita Katniss Everdeen tentang pertarungan hidup, kematian, dan perlawanan sosial terasa jauh lebih berat daripada novel remaja ringan yang biasa saya baca. Saya membaca baris demi baris dengan jantung berdebar, berharap Katniss selamat, tapi juga takut saat ia terluka.
Ada satu kutipan yang selalu saya hafal:
“Hope. It is the only thing stronger than fear.”
(Harapan. Ia adalah satu-satunya hal yang lebih kuat dari rasa takut.)
Saat itu saya sedang di puncak kebingungan—masa pindah sekolah, pertemanan baru yang belum nyaman, dan ujian tengah semester. Rasa takut saya disamarkan oleh keraguan: “Apakah saya cukup pintar? Apakah teman-teman baru akan menerima saya?” Kutipan Katniss menyalakan lilin kecil di dalam kepala saya: bahwa harapan, sekecil apa pun, dapat menerangi kegelapan. Sejak saat itu, saya belajar menghadapi ketakutan dengan mengingat bahwa harapan adalah kekuatan.
Setelah The Hunger Games, saya membaca trilogi Divergent. Gaya narasi berbeda, tetapi semangat perlawanan dan pencarian identitasnya terasa resonan. Saya membayangkan diri sebagai Tris yang berani memilih berbeda, menantang sistem, dan merayakan keberagaman karakter manusia. Itu memacu saya berpikir: “Apa nilai saya? Apa yang membuat saya unik?”
Sekarang, setiap kali saya memasuki Gramedia, saya teringat anak kecil yang malas membaca, dan remaja yang menemukan semesta lewat Wattpad. Saya juga teringat remaja bingung yang membaca Katniss dan Tris untuk mencari keberanian. Setiap perjalanan itu terasa seperti bab dalam hidup, dan saya menantikan bab selanjutnya.
Saya yakin, hubungan saya dengan buku belum selesai. Mungkin saya akan bekerja di dunia literasi, atau berbagi cerita tentang buku dengan lebih banyak orang. Yang pasti, saya tidak akan pernah berhenti membaca. Karena di setiap halaman, saya selalu menemukan bukan hanya cerita tetapi juga sebagian dari diri saya sendiri.