Penerbit Buku

Untitled (600 × 250 px)

Jendela yang Terbuka melalui Kata

Seri Esai Aku+Buku edisi ketiga ini ditulis oleh Agustinus Donny
(Mahasiswi Sastra Inggris Universitas Jenderal Soedirman, pemagang Bening Rua Pustaka periode 25A)

Sumber: gemini.google.com

“Dunia adalah buku dan mereka yang tidak bepergian hanya membaca satu halaman.” – Santo Agustinus

KETIKA saya mendengar kata buku, suatu hal yang terlintas dalam pikiran saya adalah kegiatan yang, bagi saya, cukup membosankan: membaca. Tidak banyak buku yang sudah saya baca sampai pada hari ini, mengingat sedari kecil saya lebih suka sesuatu yang berbau visual—mereka begitu memanjakan mata bagi saya. Sampai saat ini, saya lebih banyak menonton tontonan visual seperti film dan series dibanding membaca buku.

Buku yang saya kenal, tadinya, hanyalah sebatas buku cetak mata pelajaran semasa saya sekolah. Itu juga hanya dipinjamkan selama berlangsungnya tahun ajaran; ketika berganti tahun, bukunya juga ganti lagi. Saya saja jarang mendalami buku tersebut, kecuali ketika disuruh guru untuk memahami bacaan atau materi baru saya akan membacanya. Kemudian saya juga mengetahui kalau ada buku fiksi seperti novel. Namun, masih saja saya malas untuk membacanya. Entah kenapa, ketika saya membaca sebuah buku, saya terasa ngantuk, bosan, dan dihantui oleh fakta bahwa lembaran yang bisa mencapai ratusan itu harus saya baca hingga akhir. Saya juga, pada awalnya, sering terheran oleh orang-orang yang bisa membaca buku hingga selesai. “Bagaimana bisa mereka melakukannya?” “Tidakkah ada rasa bosan melihat tulisan demi tulisan di atas lembaran kertas?”

Kemudian, pandangan itu berubah ketika saya membaca 2 buah buku fiksi. Buku tersebut adalah The Wizard of OZ karya Frank Baum dan Animal Farm karya George Orwell.

Kedua buku tersebut adalah buku fiksi yang saya baca sampai selesai dan merupakan buku yang mengubah pandangan saya ketika membaca buku. Rupanya, membaca buku fiksi lebih menarik dan seru dibanding menonton sebuah karya visual. Ketika saya membaca petualangan Dorothy dalam The Wizard of OZ, saya bisa membayangkan hal-hal yang terjadi sesuai dengan imajinasi versi saya; saya bisa memiliki gambaran wajah, penampilan, dan suara seorang Dorothy, Tin Woodman, Scarecrow, dan berbagai karakter lainnya dalam cerita tersebut. Ketika saya membaca Animal Farm, saya terbayang bagaimana berapi-apinya sosok Old Major saat berpidato di depan hewan ternak memperjuangkan hak asasi hewan hingga terjadi sebuah peristiwa kediktatoran—sebuah peristiwa yang sering kali terjadi dalam sejarah perpolitikan dunia. Saya bisa membayangkan bagaimana lingkungan peternakan Mr. Jones begitu rusuh ketika pemberontakan para hewan terjadi. Saya juga bisa membayangkan seorang Squealer, yang merupakan lidah propaganda dari Napoleon—bagaimana dia memanipulasi, bersilat lidah melakukan permainan kata untuk mengubah persepsi para hewan di sana—kemudian permusuhan antara Napoleon dan Snowball yang memang bisa terjadi di dunia nyata (atau bahkan sudah biasa terjadi?).

Kedua buku tersebut benar-benar mengubah pandangan saya terhadap buku dan kegiatan membaca. Setelah itu, saya juga mulai membuat daftar buku yang ingin saya baca. Saya mulai dari buku fiksi yang memang saya suka dan tertarik setelah melihatnya diadaptasikan ke sebuah film: Sherlock Holmes dan Harry Potter. Saya sangat tertarik dengan cerita bertemakan detektif, karena saya sangat mengapresiasi bagaimana seorang penulis melakukan sebuah riset mendalam ketika membuat sebuah cerita untuk setiap kasusnya. Kemudian ketika saya menonton film Harry Potter, saya terpikir tidaklah mungkin buku yang tebalnya ratusan halaman itu bisa diadaptasi menjadi film yang hanya berdurasi sekitar 2 jam. Pasti ada beberapa, atau malah banyak, bagian di buku yang tidak dimasukkan ke dalam film. Tidak hanya itu, saya juga membeli buku 1984 karya George Orwell dan Frankenstein karya Mary Shelley. Meski, hingga saat ini saya masih terkendala waktu untuk bisa membaca buku-buku tersebut, tetapi saya tetap menjaga buku-buku tersebut supaya bisa saya baca suatu saat nanti.

“Buku fiksi saja bisa membuat saya terjun bebas menikmati fantasi penulis, bagaimana dengan buku non-fiksi?” itulah yang saya pikirkan setelah membaca buku-buku fiksi. Kemudian, timeline sosial media saya, Instagram, beberapa kali muncul video orang-orang membahas buku non-fiksi. Baik itu buku mengenai sejarah, sampai self-improvement, semua pembahasan yang saya lihat bisa disimpulkan kalau buku non-fiksi adalah sebuah manifestasi dari pepatah sejati yang selalu lekat dengan buku: “Buku adalah jendela dunia.”

Dengan begitu, saya pun tertarik untuk membaca buku non-fiksi. Saya sudah berjanji pada diri saya untuk membaca buku non-fiksi mengenai literasi keuangan, karena saya sendiri ingin melek diri terhadap isu tersebut. Saya juga tidak menutup kemungkinan untuk membaca buku-buku sejarah atau buku-buku self-improvement lainnya. Selain membuka wawasan kita lebih luas lagi, saya rasa buku non-fiksi juga membuat diri kita lebih kritis lagi terhadap sesuatu.

Saya rasa, baik itu buku fiksi maupun non-fiksi, semua memiliki tujuannya masing-masing. Buku fiksi bisa mengasah kemampuan fantasi kita, mengingat kita mencoba mengaplikasikan visual dalam pikiran kita melalui kata-kata sang penulis. Buku fiksi juga bisa menjadi sarana hiburan bagi kita, serta bisa menjadi sarana pelarian ketika sudah terlalu lama memegang gawai. Disamping itu, buku non-fiksi juga memiliki tujuan menjadi jendela dunia bagi mereka yang membacanya. Mereka memberi kita wawasan baru tentang sesuatu dan bisa membuat kita bisa menjadi diri yang lebih baik lagi. Ternyata, membaca memang seseru dan semenarik itu.

Ayo pesan sekarang!