Resensi oleh Jo Prasetyo*
Judul : KETAPEL
Penulis : Wardjito Soeharso
Tebal : 395 halaman
Penerbit. : Rua Aksara, Yogyakarta
Cetakan pertama : Februari 2022
===========================
JOKO dan Bambang adalah sahabat sepermainan saat di kampung. Dua anak-anak yang harus menjadi terdakwa di persidangan pengadilan desa karena mencuri buah mangga tetangganya dengan menggunakan ketapel. Dengan demikian mereka harus menerima hukuman dari para sesepuh dan aparat desa dalam bentuk kerja sosial. Setelah dewasa, Joko memilih profesi sebagai wartawan suatu surat kabar harian di Kota Semarang.
Hingga suatu ketika terjebak pada permainan kolusi tingkat atas saat mengadakan investigasi berita pada sebuah proyek pembangunan pelabuhan yang melibatkan dua perusahaan raksasa dan pejabat tinggi daerah. Tanpa disadari, karena sudah terlibat terlalu jauh dalam permainan konflik kolusi tingkat atas, timbul ide kenakalan masa kanak-kanak saat bermain ketapel.
Ketapel tetap mengambil peranan penting meskipun kali ini sasaran bidik bukan lagi mangga tetangganya, tetapi mengambil bagian uang rakyat dalam pusaran permainan nakal para konglomerat.
Sistem pemerintahan yang bajingan akan melahirkan rakyat yang bajingan juga, hingga kita tidak tahu siapa-siapa yang lebih bajingan dari sekadar yang layak disebut bajingan. Demikianlah hingga pada akhirnya Joko dan kawan-kawan berhasil menjadi bajingan kecil yang mengambil keuntungan dari para bajingan besar. Hasil jarahan dari para bajingan besar, Joko dan kawan-kawan berhasil melegitimasi diri sebagai Maling (Pak) Budiman bagi rakyat kecil yang membutuhkan.
Pada reuni Ketapel di kampung antara Joko dan Bambang setelah berpisah sekian tahun, kenyataannya masih sama. Mereka berdua ternyata masih sama-sama nakal. “Nakal memang bibit kejahatan, tetapi jika pandai mengelola kenakalan akan jadi senjata untuk melawan kriminal.” Itulah gambaran sekilas apa yang menjadi kandungan dalam novel ini.
Saat membaca buku novel ini, saya sempat berpikir bahwa penulis mempunyai latar belakang seorang wartawan, minimal seorang responden suatu koran atau majalah, mengingat begitu detilnya berkisah seluk-beluk kinerja wartawan. Mulai dari menganalisa isu, investigasi hingga telaah berita tuntas dipaparkan.Tetapi setelah membaca biodata penulis, sedikit terperangah saat mengetahui ternyata tidak mempunyai latar belakang kewartawanan sama sekali. Mungkin karena baru sekali ini membaca karya penulis yang sebenarnya sudah lama malang melintang di dunia sastra tanah air, sehingga saya agak awam untuk mengenal penulis.
Dalam ‘Ketapel’ penulis begitu mahir memaparkan rangkaian kisah yang saling berhubungan antara satu fragmen cerita ke fragmen cerita selanjutnya dengan sangat relevan. Penggambaran karakter antartokoh dalam novel ini cukup mewakili setiap peran masing-masing dalam setiap sesi peristiwa dan situasi yang diciptakan dalam alur kisah.
Sedikit kelemahan mungkin terjadi pada ‘repetisi’ dialog yang sebenarnya bisa dipaparkan lebih singkat dan mengisi dengan mode/trik paparan yang lebih mengembangkan plot cerita.
Kelebihan penulis dalam novel ini, sangat paiwai dalam menyisipkan kata-kata motivasi dan pesan-pesan bijak baik dari sisi intelektualitas ataupun yang bersumber dari kearifan lokal (local wisdom) dalam paparan atau sesi dialogis antar tokohnya.
Misalnya, “Nakal belum tentu kriminal, meskipun jika terjadi pembiaran bisa menjurus pada kejahatan”, “Idealisme tunduk pada kepentingan, integritas kian terkikis oleh keserakahan” atau “Sarjana harus kembali pulang untuk mengabdikan ilmu pada kampung halamannya”. Dan masih banyak lagi kata-kata yang layak disimak dan dijadikan inspirasi bagi pembaca, utamanya kaum muda.
Gaya kepenulisan dengan tokoh pemuda yang memiliki antusiasme perubahan tatanan sosial budaya yang lebih mapan, ada kemiripan dengan gaya penulis pendahulu semacam Motinggo Busye atau Maria Fransiska era 80an. Yang membedakan adalah idealisme dan bidang pergerakan masing-masing tokoh menyesuaikan pada zamannya.
Membaca novel ini, mengingatkan saya pada legenda Brandal Lokajaya (Raden Syahid) putra seorang Adipati di Tuban yang menjadi perampok harta para petinggi kadipaten yang korup dan sewenang-wenang untuk dibagikan kepada rakyat jelata yang hidup kekurangan (Dalam Cerita Rakyat ‘Sunan Kalijaga’).
Apakah penulis sempat terinspirasi oleh legenda ini? Hanya penulis sendiri yang tahu pasti. Tetapi apapun itu, tetap tidak mengurangi nilai novel ini sebagai khasanah bacaan yang tidak sekadar menghibur namun juga memuat pesan bijak juga memberikan gambaran tentang permainan para penguasa yang korup, ketimpangan sosial, dan konspirasi kolusi tingkat tinggi pada proyek-proyek negara.
Anda penasaran? Segera dapatkan novelnya!
Balikpapan, 12 Mei 2022
=====================
*Peresensi yang biasa dipanggil Cak Jo ini sekarang berdomisili dan bekerja pada sebuah kontraktor di Kota Balikpapan. Resensi ini pernah dimuat di opinijateng.com.