Resensi karya Aliurrhida*
Sejak semula Kisah Ganjil Pelaut dan Keturunannya (selanjutnya ditulis KGPK) diwacanakan sebagai karya yang mengusung tema kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim atau yang disebut sebagai climate-fiction. Namun, tidak seperti kebanyakan cerita yang mengusung tema tersebut, KGPK tidak menceritakan dunia masa depan pasca-apokaliptik. Ia tidak berbicara secara spekulatif tentang dunia masa depan setelah perubahan iklim.
Lebih dari itu, ia bicara tentang dunia kiwari. Cerita ini mengambil lokasi di Dukuh Simonet, sebuah dukuh di daerah Pekalongan yang nyaris tenggelam oleh abrasi. Sekarang, secara faktual, warga di dukuh ini sedang dalam proses relokasi oleh Pemda Pekalongan karena pulau yang mereka tinggali terendam air. Dalam novela ini, fakta dibaurkan dengan fiksi, lalu dihadirkanlah cerita tentang pelaut bernama Taslani dan keturunannya, yang berjuang melawan ganasnya Laut Jawa.
’’Dua puluh tahun lalu, di sanalah bapakmu biasa bermain sepak bola!” (hal 26). Taslani mengatakan hal itu kepada anaknya sambil menunjuk tempat yang sudah terendam air laut. Dari apa yang dikatakan Taslani, pembaca diberi penglihatan atas sesuatu yang dulu pernah ada dan kini tiada.
Lapangan sepak bola itu telah ditelan lautan dan laut tersebut sekarang sedang berupaya memangsa kebun-kebun melati istrinya. Tidak mau kebun istrinya tenggelam, Taslani mendatangi dukun yang dipercaya bisa mencegah tenggelamnya Dukuh Simonet.
Setelah melaksanakan perintah si dukun, bukannya berhasil, Laut Jawa malah melahap sebagian kebun melati istrinya. Taslani tidak menyerah. Dia mencari tahu apa penyebab lautan demikian ganasnya.
Lalu, dari seseorang dia mendengar bahwa Dukuh Simonet dikutuk Dewi Lanjar yang dipercaya sebagai penguasa Laut Jawa. Taslani pun pergi mencari Dewi Lanjar untuk meminta kepada sang dewi agar menarik kutukannya.
Rupa-rupanya Dewi Lanjar sedang banyak tamu. Ada begitu banyak orang dari segala penjuru negeri yang mendatanginya untuk urusan pesugihan. Taslani pun terpaksa mengantre, menunggu giliran. Lalu, sejak itu Taslani dinyatakan hilang.
Namun, tidak ada yang terlalu peduli. ’’Saat itu tahun 1965, keadaan sedang genting-gentingnya, dan orang hilang merupakan hal yang biasa di negeri ini” (hal 67). Tidak ada yang mencari-cari
Taslani, kecuali anak dan istrinya.
Peristiwa kemudian berulang. Caslani, anak Taslani, mengulangi apa yang ayahnya lakukan. Dia datang menemui kiai yang dipercaya sakti. Namun, hasilnya persis sama.
Tidak ada yang bisa menang melawan serakahnya Laut Jawa. Lalu, dia pun berpikir untuk menemui Dewi Lanjar sekaligus mencari ayahnya yang hilang, dan apa yang menimpa ayahnya juga menimpa dirinya. Tetapi, seperti juga ayahnya, tidak ada yang mencari Caslani, kecuali anak dan istrinya. ’’Saat itu tahun 1982, pemilu sedang berlangsung. Orang hilang adalah hal biasa di negara ini” (hal 92-93).
Peristiwa ganjil terus terulang. Orang-orang hilang secara misterius. Pengarang, dengan usil menggoda pembaca, menyentil-nyentil peristiwa berdarah dalam sejarah Indonesia, seolah-olah cerita ini bersinggungan dengan peristiwa itu. Nyatanya, tidak. Dewanto dengan sengaja memasak ceritanya, tetapi tidak membiarkan kuahnya mendidih. Ceritanya tidak pernah mencapai titik konklusi.
Apakah tenggelamnya Dukuh Simonet disebabkan kiai yang mengutuk perbuatan maksiat seperti di pembuka cerita? Atau benar karena kutukan Dewi Lanjar? Atau mungkin seperti yang dibaca Tolani, anak Caslani, generasi pertama yang memangkas buta huruf dari keluarga pelaut ini; Tolani yakin penyebab tenggelamnya Simonet bukan kutukan, melainkan penurunan permukaan tanah.
Jenis tanah di wilayah pantura aluvial. Wujudnya berlubang- lubang seperti spons dan akan runtuh jika terkena tekanan. Dengan semakin banyaknya warga dukuh yang beranak pinak, tekanan pada tanah semakin berat. Itu masih ditambah dengan pembuatan sumur artetis yang melebihi batas ketentuan. Pertanyaan-pertanyaan dibiarkan begitu saja, mengambang, tidak terjawab. Segala hal dalam novela ini menjadi mungkin setelah Dewi Lanjar yang disangka mitos ternyata benar-benar ada. Lalu, seperti yang dijanjikan juru kunci kepada anak dan istri Caslani, ’’suami dan mertuamu akan kembali”, dan keduanya benar-benar kembali.
Dua orang ini tidak sempat meminta Dewi Lanjar menyelamatkan Dukuh Simonet. Rupa-rupanya antrean pesugihan terlalu panjang. Mereka pikir belum lama menunggu. Namun, begitu keluar dari istana Dewi Lanjar, ternyata mereka sudah berubah menjadi sepasang lelaki tua.
Anak dan ayah tersebut kemudian mencari Dukuh Simonet. Dukuh itu telah menjelma pulau kecil di tengah laut. Hanya tersisa satu-dua keluarga yang keras kepala tinggal di sana, menunggu Laut Jawa menelan habis mereka.
Novela ini memang sengaja tidak memberikan jawaban pasti. Segalanya dibiarkan mengambang dan justru itulah yang membuat ceritanya menarik. Dewanto tidak pernah memberikan 4, dan sengaja atau tidak, ia mengaplikasikan sebuah teori yang dipopulerkan Andrew Stanton; ia memberikan 2+2 dan membiarkan pembaca menarik sendiri kesimpulannya! (*)
Referensi:
jAWA POS, Sabtu, 27 April 2024
===============
Aliurrhida adalah Pengajar di prodi Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Mataram
.