Penerbit Buku

Untitled (600 × 250 px)

Kesalahpahaman yang Indah

Ulasan oleh Muhammad Qadhafi1

Judul: Suatu Hari yang Indah di Bulan Maret
Penulis: Italo Calvino
Penerjemah: Hari Niskala
Tahun Terbit: 2022
Penerbit: Rua Aksara
Tebal: x + 176

==================================


CERPEN-CERPEN Italo Calvino menyediakanmu berbagai eksplorasi teknik dan kemungkinan salah paham yang indah. Keterbatasan bahasa coba dilampaui. Pikiran para tokoh utama berlompatan dan berontak suka-suka mereka. Alur tumpang-tindih. Penutup tidak pernah sungguh-sungguh setia menunggumu di akhir cerita. Itu semua bisa membuatmu salah paham. Namun, apa indahnya?
Akan coba kuceritakan. Dengan catatan, bahwa ini dapat dan boleh disalahpahami.

Aku mulai dengan keterbatasan atau keberhinggaan bahasa. Kudengar dari Nancy 2, bahwa bahasa (kata-kata) tidak pernah bisa mengungkapkan makna yang final atau absolut, maka bahasa selalu dihadapkan dengan keberhinggaannya sendiri. Secara kontradiktif, keterbatasan bahasa justru membuka adanya kemungkinan makna yang tak terhingga. Apalagi di dalam sastra. Kamu boleh percaya, karya sastra menyembunyikan apa yang hendak disampaikan, menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak hadir. Di dalam sastra, bahasa semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian makna. Ketidakpastian semacam inilah yang dieksplorasi Calvino untuk meruntuhkan ketunggalan makna dari suatu istilah, misalnya lewat cerpen “Glasiasi”, “Seperti Sekawanan Bebek”, dan “Pemenggalan Kepala”.

“Begitulah saya yang bicara padanya tentang glasiasi besar yang sekarang mesti kembali dan melapisi bumi…. Di dasar gelas, matahari masih melakoni pertempuran dengan es, dalam lengkung pusaran cakrawala gunung es yang menggelinding.” (hlm. 25)

Istilah “Glasiasi” mendapat berbagai guncangan pemaknaan baru melalui cerpen Calvino yang berjudul sama. Kekokohan makna glasiasi retak, runtuh, menjadi puing-puing yang membawa berbagai kemungkinan makna: ‘pembekuan es di dalam kulkas’, ‘tawa yang beku di atas es’, ‘momen pertemuan aku dan dia’, ‘gunungan es di Samudera Artik’, ‘gunungan es di antara aku dan dia’, atau hal lain yang belum kusebut di sini.

Di cerpen “Seperti Sekawanan Bebek”, kamu bisa pungut macam-macam makna dari istilah “sekawanan bebek” yang berserakan. Misalnya, “sekawanan bebek” adalah ‘pening’, ‘mati rasa’, ‘mati akan dunia’, ‘setengah sadar’, ‘hampir pingsan’, ‘bingung’, ‘orang-orang yang cepat berubah jadi sebaliknya: baik-buruk, kawan-lawan, suka-benci, begini-begitu, benar-salah’.

Di cerpen “Pemenggalan Kepala” (“Beheading the Heads”), Calvino menegosiasikan konsep yang mungkin saja kusalahpahami: be head = behead yang menyiratkan konsekuensi bahwa setiap orang yang menjadi kepala (negara) atau pemimpin harus siap dipenggal. Alur bergerak, kemudian istilah “pemenggalan kepala” mengalami kompromi, menjadi konsekuensi yang lebih ringan bagi para pemimpin: pemotongan ‘ruas jari tangan’, kemudian ‘lidah’, ‘telinga’, ‘hidung’, dan ‘gigi’. Itu semua akan membuatmu kehilangan nyali bercita-cita menjadi pemimpin, meskipun kamu jago berkompromi.

Hal yang barangkali hampir tanpa kompromi ialah menyangkut kebebasan berpikir tokoh utama cerpen-cerpen Calvino. Tommaso, pada cerpen “Ayam Betina di Tempat Kerja”, misalnya, mengungkapkan arus kesadarannya dengan seenaknya.

“Jika dalam… (tarik tuas!)… Semoga anak saya menikahi anak si idiot itu… (geser potongan ke bawah mesin bubut!) kami bisa keluar dari ruangan besar ini… (dan mengambil dua langkah)… dengan begitu ketika pasangan pengantin baru itu berbaring di Minggu pagi, mereka akan mendapatkan pemandangan gunung-gemunung dari jendela….” (hlm. 49)

Fokalisasi tumpang-tindih, begitu juga dengan latar dan alur. Tommaso mengoperasikan mesin sambil memikirkan macam-macam urusan. Entah ada berapa lorong pikiran Tommaso yang ditunjukkan melalui nukilan di atas. Kamu bisa membaca lanjutannya, menghitungnya sendiri, dan semoga hasil hitungan kita berbeda. Kamu mungkin bingung atau mungkin senang dengan ketidakpastian semacam itu.

Ketidakpastian juga bisa datang dari pertentangan-pertentangan yang membuatmu meragukan banyak hal. “Hari yang indah” adalah sekaligus “hari yang mengerikan” (dalam cerpen “Suatu Hari yang Indah di Bulan Maret”). Jenderal di perpustakaan bertindak “menertibkan” sekaligus “ditertibkan” (dalam cerpen “Seorang Jenderal di Perpustakaan”). Mesin penindasan berbalik melawan orang-orang yang melayaninya (di dalam cerpen “Ayam Betina di Tempat Kerja”).

Ketika kamu mencari jawaban di akhir cerita (atas keraguan dan ketidaklengkapan pengetahuanmu), kamu mungkin akan mendapat keraguan yang lain: bahwa akhir bukanlah akhir. Sebagaimana Neander, si manusia purba (yang di penghujung cerita) terus bercerita tanpa akhir, tanpa memisah yang abstrak dengan yang konkrit, tanpa henti, tanpa bisa dicegah oleh Pewawancara maupun oleh batas-batas penafsiranmu. Kamu bisa saja kembali merunut ke awal cerita atau ke dialog-dialog antara Neander dengan Pewawancara yang sering kali tidak komunikatif. Kamu juga bisa melarikan diri dari gua gelap cerpen “Manusia Neanderthal”, mencari informasi tentang siapa atau apa itu Neanderthal, kemudian pulang kepada dialog Neander dengan Pewawancara. Barangkali kamu akan menemukan kecocokan sekaligus ketidakcocokan berbagai informasi yang kamu temukan dengan cerpen Calvino tadi. Namun itu pun bukan suatu akhir, bukan suatu jawaban atas ketidaklengkapan pengetahuanmu.

Berbagai ketidaklengkapan dan keterbatasan mendorong kita untuk terus-menerus berbagi dalam proses komunikasi.3 Artinya, komunikasi hanya akan terjalin ketika ada hal yang tidak pernah bisa benar-benar tuntas dikomunikasikan. Sebaliknya, jika segala hal telah tuntas dikomunikasikan, maka tidak ada lagi yang dapat dibagikan, tidak ada lagi komunikasi, komunikasi berhenti, mati.

Berkat ragam keterbatasan dan kesalahpahaman inilah proses komunikasi terjalin antara Calvino, karya-karyanya, aku, dan kamu. Inilah keindahan sekaligus ketidakindahan yang boleh saja kita kembali salah pahami. Dengan cara begini, melalui sastra, setidaknya kita akan terus berkomunikasi, berproses, berbagi ketidaklengkapan pengetahuan kita tentang segala sesuatu. [*]

======================================
1Pengulas sedang menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Gadjah Mada. Tulisan ini dipersiapkan untuk acara buku yang diselenggarakan oleh IKAPI dan UAD di Yogyakarta.
2Jean Luc-Nancy. 2000. Being Singular Plural. Stanford California: Stanford University Press.
3Jean Luc-Nancy. 1991. Inoperative Community. Minneapolis & Oxford: University of Minnesota Press.

Ayo pesan sekarang!